Tag Archives: hukum bercampur madzhab

HUKUM TALFIQ HARAM ?

Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain.

Dalam kitab I’anah al-Thalibin, talfiq jelas-jelas larang talfiq :

ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة (اعانة الطالبين , ج 1 ص 17)

talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.” (I’anah al-Thalibin, juz 1, hal 17)

Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama.

Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq. Pertama, tidak bertentangan dengan ijma’ atau nash Alquran dan sunnah. Kedua, tidak digunakan untuk membebaskan diri dari tanggungan beban (tidak untuk meringankan).

Contoh terjadinya talfiq, Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu.

Demikian juga, Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena ikut madzhab imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu ala Imam Syafi’I, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat).

Contoh lain, seseorang menikah dengan mengambil pendapat mazhab Abu Hanifah yang tidak menuntut adanya wali sekaligus mengambil pendapat Syafi’i yang membenarkan perkawinan tanpa mahar (bila disetujui oleh calon istri). Pada waktu yang sama, ia mengambil pendapat Maliki yang tidak mensyaratkan saksi. Pernikahan semacam ini tidak dibenarkan oleh ketiga imam mazhab tersebut. Alhasil, talfiq semacam ini tidak dibenarkan. Intinya, niat pelaku talfiq seyogianya bukan semata-mata untuk mencari yang ringan-ringan atau mudah.

Haruskah Satu Madzhab ?

Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu;

Pertama, pendapat konservatif dari kelompok ulama yang mewajibkan umat Islam untuk bermadzhb satu dan tidak boleh berpindah.

Kedua, pendapat kebanyakan ulama yang membolehkan dan membebaskan umat untuk memilih madzhab mana saja yang ia suka dan boleh berpindah-pindah.

Ketiga, pendapat yang lebih rinci; yakni jika seorang dalam hal shalat memakai pendapat madzhab al-Syafi’i, misalnya. Maka wajib ia konsisten dalam hal tersebut; artinya dalam shalat tidak boleh mengambil pendapat lain selain al-Syafi’iyyah. Sedangkan masalah selain shalat, boleh dengan madzhab lain.

Dalam kitabnya, Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma’ (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam wajib taqlid (mengikuti) mujtahid atau madzhab. Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.

Sedangkan seorang mujtahid, yang memang mampu menganalisa serta menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan hadits, ia diharamkan mengikuti sipapun itu. Yang dia harus lakukan adalahberijtihad; karena memang ia adalah ahli dalam hal itu.

Sumber :

Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu

kitab I’anah al-Thalibin ,

Repub;ika.co.id