Category Archives: hukum Islam

MAKNA SYAWAL

Secara bahasa syawal dari kata شال-يشول-شول-شولان   yang artinya menaikkan , mengangkat, memungut, membawa, mengangkut. Orang arab mengatakan, syawal dari kata syalat an-Naqah bi Dzanabiha [bahasa arab: شالت الناقةُ بذنَبِها], artinya onta betina menaikkan ekornya. (mu’jam alghaniy)

Makna Syawwal

Ketika onta betika menaikkan ekornya maka saat itu onta tersebut tidak mau dikawini onta jantan. Sehingga menjadi kepercayaan orang arab saat itu, kalau bulan syawal itu bulan sial untuk menikah. Dan kepercayaan itu dihilangkan Nabi SAW dengan menikahi Aisyah di bulan syawal saat itu.

Momentum meningkat Iman dan Amal

Hakikat Idul Fitri, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ali radhiyalLahu ‘anhu, adalah:

لَيْسَ الْعِيْدُ لـِمَنْ لَبِسَ الـْجَدِيْدَ، وَإِنَّمَا الْعِيْدُ لـِمَنْ أَمِنَ الوَعِيْدَ؛

لَيْسَ الْعِيْدُ لـِمَنْ لَبِسَ الـْجَدِيْدَ، إِنَّـمَا الْعِيْدُ لـِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ؛

لَيْسَ الْعِيْدُ لـِمَنْ تـَجَمَّلَ بِالِّلبَاسِ وَالرُّكُوْبِ، إِنـَّمَا الْعِيْدُ لـِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْبُ.

 (لطائف المعارف، 277)

Idul Fitri bukanlah bagi orang yang memakai pakaian baru.Idul Fitri adalah bagi orang yang aman dari ancaman (neraka).

Idul Fitri bukanlah bagi orang yang memakai pakaian baru.Idul Fitri adalah bagi orang ketaatannya bertambah.

Idul Fitri bukanlah bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya. Idul Fitri adalah bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

“Siapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka dialah orang beruntung. Siapa yang hari ini sam dengan hari kemarin, maka dialah orang tertipu. Siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka dialah orang yang terlaknat”.

Momentum perubahan Sikap dan Perilaku

Dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 133-134 Allah SWT berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa” ( Ali Imran ayat 133)

 الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” ( Ali Imran ayat 134)

Kesimpulan

Setelah melakukan puasa ramadhan, maka tanda-tanda keimanan  seorang muslim akan tampak pada peningkatan iman, dan amal baiknya. Diantara segera memohon ampun ketika bermaksiat kepada Allah dengan meperbanyak istighfar dan taubat, memperbanyak infaq baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mampu menahan amarah setelah selama sebulan dilatih untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dan terakhir mudah memaafkan orang lain artinya tidak pendendam tetapi pemaaf. Itulah sifat mukmin buah dari ramadhan. Allahu a’lam ( Arif Al Qondaly)

Referensi

Kamus Mu’jam Al Ghaniy | Tafsir Ibnu Katsir | Berbagai sumber

Related Post

Ruqyah Syariyyah Semarang Madu Ruqyah | Jual Madu Ruqyah Semarang Manfaat Herbal ruqyah dengan madu | Khasiat Madu Ruqyah |

HUKUM TALFIQ HARAM ?

Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain.

Dalam kitab I’anah al-Thalibin, talfiq jelas-jelas larang talfiq :

ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة (اعانة الطالبين , ج 1 ص 17)

talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.” (I’anah al-Thalibin, juz 1, hal 17)

Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama.

Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq. Pertama, tidak bertentangan dengan ijma’ atau nash Alquran dan sunnah. Kedua, tidak digunakan untuk membebaskan diri dari tanggungan beban (tidak untuk meringankan).

Contoh terjadinya talfiq, Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu.

Demikian juga, Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena ikut madzhab imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu ala Imam Syafi’I, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat).

Contoh lain, seseorang menikah dengan mengambil pendapat mazhab Abu Hanifah yang tidak menuntut adanya wali sekaligus mengambil pendapat Syafi’i yang membenarkan perkawinan tanpa mahar (bila disetujui oleh calon istri). Pada waktu yang sama, ia mengambil pendapat Maliki yang tidak mensyaratkan saksi. Pernikahan semacam ini tidak dibenarkan oleh ketiga imam mazhab tersebut. Alhasil, talfiq semacam ini tidak dibenarkan. Intinya, niat pelaku talfiq seyogianya bukan semata-mata untuk mencari yang ringan-ringan atau mudah.

Haruskah Satu Madzhab ?

Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu;

Pertama, pendapat konservatif dari kelompok ulama yang mewajibkan umat Islam untuk bermadzhb satu dan tidak boleh berpindah.

Kedua, pendapat kebanyakan ulama yang membolehkan dan membebaskan umat untuk memilih madzhab mana saja yang ia suka dan boleh berpindah-pindah.

Ketiga, pendapat yang lebih rinci; yakni jika seorang dalam hal shalat memakai pendapat madzhab al-Syafi’i, misalnya. Maka wajib ia konsisten dalam hal tersebut; artinya dalam shalat tidak boleh mengambil pendapat lain selain al-Syafi’iyyah. Sedangkan masalah selain shalat, boleh dengan madzhab lain.

Dalam kitabnya, Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma’ (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam wajib taqlid (mengikuti) mujtahid atau madzhab. Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.

Sedangkan seorang mujtahid, yang memang mampu menganalisa serta menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan hadits, ia diharamkan mengikuti sipapun itu. Yang dia harus lakukan adalahberijtihad; karena memang ia adalah ahli dalam hal itu.

Sumber :

Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu

kitab I’anah al-Thalibin ,

Repub;ika.co.id

PERBEDAAN HUDUD, JINAYAT , TA’ZIR DAN MUKHALAFAT

Hukuman di dalam Islam ada empat macam.  Tiga yang pertama adalah Hudud, Jinayat dan Ta’zir, adalah hukuman terkait dengan pelanggaran terhadap hukum Allah. Sedang yang terakhir , disebut mukhalafat, adalah pelanggaran terhadap undang-undang yang dikeluarkan kholifah [ kepala negara Islam]. Penjelasan secara ringkas sebagai berikut :

[1]. Hudud, menurut bahasa artinya sesuatu yang membatasi atara 2 hal. Secara istilah syara’ adalah hukuman yang ditetapkan secara syar’iy terhadap suatu kemaksiyatan agar dapat dihindari terjadi kemaksiatan serupa. Wilayah Hudud adalah Zina , Liwat [ memasukkan zakar laki-laki baligh ke dalam dubur lelaki], Qodaf [ menuduh orang lain berzina], murtad, aktivitas yang merusak [ bughat], perampokan dan pencurian.

Hukumannya berupa : Rajam [ zina muhshon], cambuk 80x [ zina ghairu muhshon], dibunuh dan disalib [perampokan dengan membunuh], dipotong tangan dan kaki bersilang [ merampok ], dibunuh [ murtad].

[2]. Jinayah, menurut bahasa adalah kejahatan. Secara istilah syara’ adalah tindakan melanggar badan yang merupakan organ yang wajib diqishos, dalam bentuk hukuman badan atau harta kekayaan. Wilayah jinayat adalah pembunuhan dan tindak melukai atau mencederai anggota tubuh.

Hukumannya adalah : hukuman mati [ jika membunuh dan keluarga tidak memaafkan dan tidak mau menerima diyat],   diyat mugholadhah [ 100 ekor unta dan 40 diantaranya bunting, bagi pembunuhan disengaja], dan 100 ekor unta untuk pembunuhan tidak disengaja. Jika menghilangkan organ tubuh bisa dikenakan seperti diyat 100% atau sesuai kadar tingkat cidera yang diderita.

[3]. Ta’zir. Menurut bahasa adalah pencegahan. Sedang secara istilah syara’ adalah hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiyat yang tidak ditentukan hudud dan kafarat [ tebusannya].Contohnya adalah makan di siang hari di bulan ramadhan, menipu dan mengumpat orang.

Bentuk hukumannya diantaranya : dibunuh,  contoh mata-mata yang ingin memecah belah ummat, cambuk 10x, penjara, pembuangan [ diasingkan], denda, perampasan harta, ancaman, pencabutan nafkah, diburuk-burukkan.

[4]. Mukhalafah, artinya penyelewengan terhadap perinta atau larangan yang dikeluarkan oleh Negara. [tindakan yang menyimpang dar undang-undang  Negara ], Bedanya dangan ta’zir adalah, kala ta’zir adalah perilaku yang menyimpang atau menyelisihi hukum syara, sedang mukhalafah adalah perilaku yang menyelisihi hukum Negara.

Demikian ke empat bentuk hukuman dalam Islam. Allah a’lam bi ash-showab.

Sumbar : Islam Politik dan Spiritual, Hafidz Abdurrahman, hal 221-225.